BANDA ACEH | D’INVESTIGASI- Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin meminta Plt Gubernur menyelamatkan pembangunan yang terancam berhenti akibat kekurangan waktu dalam pelaksanaannya karena berakhirnya masa anggaran tahun 2018, sehingga banyak rekanan yang sedang mengerjakan pembangunan dengan persentase yang sedikit lagi tidak bisa melanjutkan pembangunannya karena diputuskan kontraknya, Jumat (12/14/18).
“Kami mendapat informasi banyak proyek pembangunan yang sedang dikerjakan di atas 85-90% selesai dan butuh waktu sedikit lagi sampai 100%, namun dikarenakan tahun anggaran akan berakhir maka semua pekerjaan tersebut akan dihentikan kontraknya. Akibatnya pembangunan tersebut tidak bisa dilanjutkan sampai selesai sehingga akan merugikan masyarakat penerima manfaat dari bangunan tersebut seperti jembatan, jalan, waduk dan lainnya” Terang Safar.
Ketua YARA menyampaikan, keterlambatan dalam proses pembangunan ini merupakan efek dari Pergub APBA, masa tender dan kontrak kerja yang sempit sehingga waktu pengerjaan suatu bangunan tidak tercapai 100%.
“kami minta Plt Gubernur membuat kebijakan dan memberikan solusi terhadap permasalahan ini, karena tidak bisa di pungkiri bahwa ini adalah akibat dari APBA yang di Pergubkan” pinta Safar.
YARA menyarankan kepada Plt Gubernur untuk menggunakan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta semua perubahannya sebagai payung hukumnya dimana disebutkan dalam Pasal 93 ayat (1) huruf a.2 memberikan ruang kepada Penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan dalam kurun waktu 50 hari kalender masa keterlambatan.
“Penjelasan Pasal ini tercantum cukup jelas, artinya tidak perlu lagi dimaknai lain. Dengan demikian, tidak ada larangan jika masa keterlambatan tersebut melampaui batas akhir tahun anggaran. Pemberian waktu keterlambatan tentu didasari pada itikad baik (good faith) dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan pekerjaan,” sebut Safar.
Sambungya, Selama masa keterlambatan Penyedia dikenakan denda sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 120). Dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b: Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dantidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Penggunaan kata penghubung “dan” pada Pasal 93 ayat (1) huruf b bermakna bahwa pemutusan Kontrak hanya dapat dilakukan jika memenuhi dua unsur, yaitu: 1). Penyedia lalai/cidera janji; dan 2). Penyedia tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Pemutusan Kontrak tidak dapat dilakukan jika hanya memenuhi unsur yang pertama (lalai/cidera janji). Penjelasan Pasal 93 ayat (1) huruf b, kata Safar.
“Adendum bukti perjanjian dalam hal ini hanya dapat dilakukan untuk mencantumkan sumber dana dari dokumen anggaran Tahun Anggaran berikutnya atas sisa pekerjaan yang akan diselesaikan (apabila dibutuhkan). Masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk Pekerjaan Konstruksi disebut juga “Provisional Hand Over”.
“Kami menyarankan kepada Plt Gubernur agar menggunaka Peraturan Presiden 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta semua perubahannya sebagai payung hukumnya, dengan menggunakan langkah ini kita berharap pembangunan yang telah dilaksanakan bisa di selesaikan 100% dan dapat di nikmati oleh masyarakat Aceh” saran Safar.
Dalam penilaian YARA, jika Pemerintah melakukan pemutusan kontrak maka akan sangat banyak yang di rugikan, pertama Pemerintah karena target pembangunannya tidak tercapai, kedua Masyarakat karena tidak dapat menikmati fasilitas bangunan sarana public dan ketiga adalah Rekanan yang melaksanakan pembangunan karena mereka sesuai dengan Pasal 93 Ayat (2): “Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa.
Maka PPK melakukan tindakan berupa: a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan; b. sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan; c. Penyedia Barang/Jasa membayar denda; dan d. Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam, ucap Safar.
Oleh karena itu perlu kebijakan dan solusi dari Plt Gubernur untuk menyelamatkan pembangunan di Aceh saat ini. “tujuan dari pembangunan adalah kemanfaat untuk publik, tentu saja prosesnya sesuai dengan aturan yang berlaku.
kita tidak ingin proses pembangunan justru akan menimbulkan kerugian bagi pemerintah, masyarakat maupun para pengusaha, dari inilah perlu kebijakan dan solusi dari Plt Gubernur Aceh untuk menyelamatkan pembangunan yang kritis saat ini” tutup Safar. (Rel)