MEDAN-Menyikapi dinamika politik tanah air, Rumah Konstituen menggelar kegiatan diskusi kelompok terarah (FGD) dengan tema “Menatap Indonesia Pasca Pilpres 2019: Urgensi Rekonsiliasi bagi Keberlanjutan pembangunan.”
FGD yang diselenggarakan di Stadion Cafe, Teladan Barat, Kec. Medan Kota itu dihadiri setidaknya 60-an orang peserta dari berbagai elemen masyarakat; politisi; mahasiswa: LSM; dan pegiat literasi.
Kegiatan melibatkan sejumlah narasumber sebagai pemantik dinamika, yg datang dari berbagai profesi. Dr. Irwansyah, M.Ag (Kaprodi Sosiologi UIN SU); Sugiat Santoso, SE.,MSP (Ketua DPD KNPI Sumut); Edi Saputra, ST (Anggota DPRD Kota Medan terpilih PAN); Budi Setiawan (Alumni IMM); dan Eko Marhaendy selaku Direktur Rumah Konstituen. Bertindak sebagai moderator, Nurul Yakin Sitorus yang merupakan Manajer Program Literasi Politik Rumah Konstituen.
Eko Marhaendy mengawali diskusi dengan paparannya mengenai fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sepanjang 6 bulan terakhir. Menurutnya fluktuasi itu dapat dijadikan sebagai indikator kepercayaan publik terhadap dunia investasi.
“Memang nilai tukar rupiah bukan satu-satunya faktor yang menunjukkan maju-mundurnya ekonomi Indonesia, akan tetapi itu bisa dijadikan sebagai indikator untuk mengukur penting tidaknya rekonsiliasi dilakukan,” papar Eko.
Ia mencontohkan sepanjang 6 bulan terakhir, titik tertinggi pelemahan rupiah terjadi pada tanggal 22 Mei 2019, grafik itu sudah mulai menampakkan kondisi pelemahan sejak 18 April 2019.
Fakta uniknya adalah, sejak pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT yang ditengarai sebagai simbol rekonsiliasi pada tanggal 13 Juli 2019, rupiah terus menguat melampui titik stabilnya hingga berada di bawah angka 14 ribu.
Ketua DPD KNPI yang juga merupakan politisi Partai Gerindra ini menegaskan, rekonsiliasi merupakan “fardhu ain” sekaligus “fardu kifayah” (kewajiban pribadi dan kewajiban bersama bagi setiap orang).
“Memang, ketika kontestasi berjalan, pertarungan perebutan kekuasaan. Tapi kontestasi itu telah usai dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Maka tugas kita ke depan adalah menjaga stabilitas negeri ini agar pembangunan lancar.” Papar sugiat.
Dr. Irwansyah Nasution memaparkan pandangan yang lebih teoritis dengan mengemukakan beberapa fakta dari hasil berbagai penelitian. Menurutnya, Indonesia pernah menjadi panutan pendewasaan demokrasi setidaknya oleh orang-orang yang pernah ia temui di Jerman. Tapi itu dulu.
Setelah tahun 2014, kelihatannya politik identitas semakin menguat yang membuat kepercayaan dunia luar mulai surut terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Budi Setiawan, lebih banyak menyoroti dampak politik di kalangan akar rumput. Ada banyak masyarakat akar rumput yang kecewa dan terluka, hal itu seharusnya juga dipertimbangkan para elit. Jangan terkesan rekonsiliasi hanya berlaku di kalangan elit, sedangkan mereka melepas tanggung jawabnya kepada masyarakat akar rumput yang sudah terbelah.
Sementara itu, Edi Saputra, ST. lebih menyoroti isu-isu yg bersifat lokal. Percuma rekonsiliasi dilakukan jika permasalahan lokal diabaikan.
Edi memandang, rekonsiliasi di tingkat lokal berkaitan dengan bagaimana distribusi anggaran terjadi dengan prinsip yg adil dan merata. Aktivis mahasiswa misalnya, harus diperhatikan dalam porsi anggaran Kota Medan, agar mereka punya kegiatan positif dan rekonsiliasi menjadi tidak sia sia.
Pada akhirnya, seluruh narasumber dan peserta yang hadir memiliki pandangan yang sama, bahwa rekonsiliasi penting dilakukan demi masa depan pembangunan di Indonesia. (sor)
Komentar